Judul Buku : The Will To Improve
Penulis : Tania Murray Li
Penerjemah : Herry Santoso dan Pujo Semedi
Terbit : Jakarta: Marjin Kiri, Juli 2012
Kolasi : 536 hal.
ISBN : 978-979-1260-15-2
Membaca buku Tania Murray Li The Will To Improve kita seperti dibentangkan sejarah pembangunan dan perbaikan di Indonesia sejak zaman kolonial hingga kini. Jenuh, mungkin menjadi kesan yang dapat ditangkap saat membaca Pendahuluan yang begitu panjang dan menguras tenaga ditambah lagi dengan sejubal kutipan referensi.
Secara pribadi saya memberi penghargaan tersendiri kepada tim penerjemah, melalui kerja keras mereka buku ini bisa dibaca dengan gaya Bahasa Indonesia, meski pada beberapa bagian – khususnya Pendahuluan – gaya bahasa Inggris masih kental. Bukan pekerjaan mudah memang menerjemahkan dan mengalihkan gaya bahasa terlebih istilah-istilah Sosiologi dan Antropologi. Namun memasuki isi buku, pembaca mulai bisa rileks dengan runutan sejarah dari zaman kolonial Belanda.
The Will To Improve jika diIndonesiakan menjadi Keinginan Untuk Memperbaiki. Buku ini sebenarnya membahas tentang bagaimana penguasa merencanakan dan menjalankan pembangunan yang terwujud dalam bentuk program-program. Namun dalam pembahasannya Li mengantar kita pada perjalanan sejarah dimana praktek penerapan program-program “perbaikan” disusun, diperbaiki, dan terus direvisi sejak zaman kolonial Belanda. Li menyuguhkan fakta miris bahwa pola program perbaikan pada zaman penjajahan sebagian besar masih diterapkan hingga saat ini.
Salah satu point penting yang ditekankan oleh Li adalah ulah para perancang program yang men-teknis-kan aspek-aspek politik yang akhirnya menjadi aspek non politik. Sebut saja isu-isu kemiskinan, kekurangan lahan, dan kelaparan diterjemahkan menjadi masalah kesehatan dan dipecahkan melalui program kesehatan. Li mengutip pernyataan Ferguson bahwa pembangunan dengan sangat efektif membendung perlawanan politik terhadap sistem melalui kegigihannya menerjemahkan persoalan politik kedalam kaidah teknis.
Pada Bab I, Li menggambarkan posisi-posisi kontradiksi program perbaikan sejak zaman kolonial hingga kontradiksi program perbaikan zaman Orde Baru. Bagi pembaca yang senang sejarah atau yang pernah membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer mungkin akan tertarik membaca ulasan dalam Bab ini.
Li menggambarkan kontradiksi program di zaman Kolonial Belanda. Menjalankan proses kapitalisasi bersamaan dengan keinginan untuk mensejahterakan masyarakat, menelurkan program perbaikan hidup kaum bumiputera (pribumi) namun juga menegaskan bahwa mereka tetaplah kelas bawahan. Setelah merdekaan, masa Orde Lama, Orde Baru hingga pasca reformasi kontradiksi program masih juga terjadi.
Pada Bab selanjutnya pembahasan Li sudah spesifik pada contoh-contoh kasus program Kolonial Belanda di Sulawesi Tengah. Bagaimana peran kolonial dalam membentuk satuan pemukiman, mengintervensi kerajaan-kerajaan kecil, mengubah kepercayaan dan kebiasaan masyarakat, melakukan pemindahan paksa, hingga penaklukan beberapa wilayah.
Bagi mereka yang tertarik dengan sejarah penyebaran pemukiman dan kerajaan-kerajaan kecil di Lembah Palu, Kulawi, Besoa dan Poso, bisa menelusuri Bab II dari buku ini. Tania Li bahkan mengutip catatan tentang kondisi iklim dan krisis lahan di lembah Palu dari tahun 1669.
Kita pun merasa miris mengetahui bagaimana masyarakat pegunungan Poso banyak yang meninggal dunia saat dipindahkan secara paksa oleh pemerintah kolonial ke lembah padat penduduk. Program ini mirip dengan program transmigrasi dengan tujuan memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kruyt dan Adriani, dua orang misionaris saat itu membantu pemerintah kolonial untuk merelokasi masyarakat. Kondisi lingkungan yang baru membuat mereka rentan terhadap penyakit hingga banyak yang meninggal dunia, sayangnya Kruyt dan Adriani malah menyalahkan ketidakmampuan mereka beradaptasi dengan memakai istilah “Depresi Spiritual”.
Cerita lain datang dari Papa Eli, Warga Tompi yang dipindah paksa oleh kolonial ke lembah Kulawi ditahun 1920-an. Bagitu juga kisah pak Kunjiro, warga Raranggonau yang dipindah paksa oleh pemerintah Orde Baru ke wilayah Palolo hingga terkatung-katung karena ketidakjelasan lahan yang dijanjikan.
Pada beberapa contoh kasus, Li mencoba menunjukkan bahwa konsep Despotisme yang diterapkan pada masa kolonial masih dipertahankan hingga saat ini. Despotisme adalah sebuah cara yang sah untuk mengatur dan mendisiplinkan orang-orang yang tidak beradab, sejauh tujuannya adalah untuk kesejahteraan mereka. Istilah ini berasal dari filsuf politik tersohor sekaligus pejabat East India Company, J.S Mill.
Li selanjutnya mengulas program dimasa Orde Baru, dimana Dinas Sosial menggunakan istilah “Masyarakat Terasing” untuk orang pegunungan kemudian menyamakan mereka dengan narapidana, pekerja seks komersial, yatim-piatu, dan penyandang cacat. Mereka layak disantuni, dibina, dan didisiplinkan hingga mereka layak menjadi bagian dari masyarakat biasa.
Dalam Bab-bab selanjutnya Li mengulas reaksi masyarakat yang menerima program, ketegangan antara masyarakat dengan pemerintah, dan bagaimana LSM mengambil posisi dalam ketegangan tersebut. Beberapa kasus yang diangkat diantaranya Dongi-dongi dan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL).
Tania Murray Li adalah Guru Besar Antropologi dan Senior Canada Research Chair pada Departement of Anthropogy, University of Toronto. Sayangnya dalam bukunya ini Li tidak dalam posisi menawarkan solusi.
Saya mestinya memiliki gagasan tentang cara menerjemahkan hasil penelitian menjadi program yang efektif untuk menolong masyarakat. Saya biasa diminta menjembatani antara hasil penelitian saya... dengan dunia proyek yang ditekuni beberapa ahli. Akan tetapi jembatan yang mereka maksud sungguh tidak dapat saya gapai. Saya tidak bergurau atau merendah.
Kedudukan saya bersifat diagnostik... mempertanyakan cara berpikir, praktik, dan anggapannapa yang diperlukan oleh para perencana pembangunan ... menjadi uraian yang linier mulai dari perumusan masalah, tindak penanganan, hingga hasil-hasil yang bermanfaat.
___
Ojan (Salah satu penginisiasi LPM Silo Langi)
Sumber: ojan-tolare.blogspot.com
NIAT – yang terdengar – BAIK SAJA TIDAK CUKUP
Reviewed by Silo Langi
on
2/21/2014 01:48:00 AM
Rating:
No comments: