“silage
injo e fuyulonye,
Silage injo
e dagatonye,
Silage injo
e ogoonye,
Anju-anjul e
malabate…………”
foto:
Nanang
Suasana belajar
mengajar para siswa tanpa menggunakan seragam sekolah.
|
Wajah-wjah polos para
siswa-siswi SD Alkhairat Terpencil Gianang, tampak gembira menyanyikan
penggalan dari lagu daerah dalam bahasa lauje di atas. Bertempat tinggal di
daerah terpencil, di atas pegunungan kacamatan Tinombo kabupaten Parigi Mautong
tidak menggurangi semangat belajar anak-anak
di dusun ini.
Walau harus belajar
dalam kesederhanaan dan ketarbatasan fasilitas yang ada, tapi tidak mengurangi
semangat anak-anak ini dalam menuntut ilmu. Dapat terlihat dari senyuman yang
merona diwajah mereka, bahwa mereka sangat haus akan pengetahuaan.
Bukan hanya
keterbatasan sarana pendidikan seperti ruangan kelas untuk belajar, yang hanya
terdiri atas dua ruangan yang harus digunakan secara bersama oleh enam kelas
yang ada disekolah ini tanpa ada sekat
sebagai pemisah antar kelas. Satu ruangan kelas harus diisi oleh tiga kelas
secara bersamaan, ruang kelas pertama harus diisi oleh kelas satu, lima dan
enam. Dan kelas selanjutnya diisi oleh kelas dua, tiga dan empat. Sudah menjadi
hal yang bias ketika tiga orang guru harus masuk mengajar pada satu ruangan
yang sama, sehingga meraka harus saling bergantian dalam menerangkan di papan
tulis. Atau seorang guru harus mengajar tiga kelas secara bergantian pada tiga
kelas yang ada dalam satu ruangan.
Belum lagi keterbatasan
guru dan kualisat tenaga pengajar, dari delapan orang guru yang ada, hanya dua
orang yang merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) termasuk sang kepala sekolah,
sisanya adalah tenaga honorel yang sebagian besar hanya tamatan SMA. Tidak
semua guru yang bisa hadir setiap hari di sekolah ini, biasanya hanya dua
hingga lima orang guru yang bisa hadir di sekolah, sang kepala sekolahpun
biasanya hanya hadir sekali dalam sebulan.
Rifai, seorang guru
yang telah mengapdi sebagai tenaga honorel di sekolah ini sejak 2008 contohnya,
hanya mendapatkan gaji sebesar 250 ribu perbulan, itupun harus diterimanya
setiap tiga bulan sekali, sehingga ia harus menjadi tukang ojek selepas
mengajar di sekolah. “tidak ada pilihan
lain, saya harus menjadi tukang ojek sepulang sekolah untuk mencukupi kebutuhan
hidup keluarga saya, (isteri dan dua orang anaknya) kalau hanya mau harap gaji
sebagai guru honor pastilah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupan
keluarga saya, apalagi di tempat terpencil seperti ini” tutur Rifai.
Menurutnya banyak guru yang tidak tahan tinggal dan mengajar di tempat
terpencil seperti ini, tidak adanya sarana penerangan listerik, jariang seluler
serta aksas jalan yang sangat sulit menjadi alasa terbesar para guru dari kota
untuk tidak mengajar di sekolah ini dan lebih memilih mencari sekolah lain.
245 orang anak yang
terdaftar sebagai siswa di sekolah ini adalah etnis Lauje yang belum lancer
berbahasa Indonesia, sehinnga terkadang aktivitas belajer mengajar menggunakan
bahasa daerah lauje, umumnya anak-anak ini sangat pemalu apalagi ketika bertemu
dengan orang-orang baru yang datang ke daerah mereka.
Tak ada seorang
siswapun yang menggunakan sepatu ketika berangkat ke sekolah seperti umumnya
para pelajar di daerah lain, hanya menggunakan sandal jepit bahkan kebanyakan
tanpa menggunakan alas kaki adalah pemandangan lumrah di sekolah ini, serta
tanpa seragam putih merah yang umumnya di gunakan oleh para pelajar di sekolah
dasar, bahkan tempat buku merekapun berasal dari kantong keresek bekas untuk
menjaga alat tulis mereka agar tidak basah ketika terjadi hujan saat mereka
berangkat dan pulang sekolah. Bagi mereka buku-buku usam itu adalah harapan
masa depan mereka untuk mendapatkan segudang pengetahuan yang mereka impikan.
Sebenarnya gedung yang
mereka gunakan saat ini adalah gedung baru bantuan pemerintah daerah yang
diresmikan pada tahun 2008. Sebelumnya gedung sekolah mereka terbuat dari
bambu, baik atap maupun dindingnya. Tak ada ruangan kantor untak para guru, tak
ada ruangan perpustakaan serta koleksi buku bacaan untuk para siswa, bahkan
para siswa-siswapun harus duduk berhimpit-himpitan kerena keterbatasan kursi.
Hidup di tempat
terpencil dan dicap sebagai orang gunung, membuat anak-anak ini menjadi minder
untuk melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, kebanyakan
mereka hanya menamatkan pendidikannya hingga jenjang SMP, kerena untuk
melanjutkan ke jenjang SMA mereka harus keluar meninggalkan kampung mereka. Tak
ada paksaan dari para orang tua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, kerena bagi mereka cukup bisa membaca, menulis dan berhitung suda
cukup sebagai bekal hidup mereka nantinya. (nanang).
“jika kaulihat senyum mereka, binar
mata mereka serta canda tawa mereka. Maka ingatlah dengan mimpi-mimpimu dan
mimpi-mimpi mereka. Mereka adalah para pemimpi kecil dengan mimpi yang besar,
jangan pernah hancurkan mimpi-mimpi itu, kerena mereka adalah harapan negeri
ini dihari esok.
Mereka Terpencil, Mereka Pemalu Tapi Mereka Haus Akan Pengetahuaan
Reviewed by Silo Langi
on
3/04/2014 05:39:00 PM
Rating:
No comments: