SILOLANGI News, PALU - Saat mencari beberapa referensi tentang Ki Hajar Dewantara, ada satu artikel menarik yang menyinggung tentang komparasi antara konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara dan konsep "barat". Konsep beliau itu mengedepankan tiga faktor, yaitu "ngerti" (cognitive domain), "ngrasa" (affective domain), dan "nglakoni" (psychomotor domain).
Ki Hajar mencetuskan konsep tersebut sejak 20 tahun sebelum konsep Blomm’s Taxonomy (cognitive, affective, and psychomotor) yang terkenal itu diperkenalkan oleh Benjamin Blomm, seorang psikolog pendidikan pada 1956. Dari analisis singkat setelah membaca beberapa referensi tentang Ki Hajar Dewantara, cukup banyak pertanyaan dan kegalauan terhadap sistem pendidikan nasional kita yang mulai terjawab.
Mengapa sistem assesment seperti Ujian Nasional (UN), yang dengan sistem multiple choice dan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat hanya menguji sisi kognitif ("ngerti") tidak bisa mengukur kualitas murid secara keseluruhan? Kenapa sistem hafalan mati masih dikedepankan, termasuk hafalan ayat-ayat dari kitab suci yang sekali lagi hanya kental dengan muatan kognitif tanpa unsur "rasa", apalagi unsur "nglakoni" (psikomotorik)?
Pun, satu pertanyaan, kenapa hampir tidak ada universitas di Indonesia yang mensyaratkan motivation statement sebagai salah satu syarat utama dalam sistem seleksi, dan hanya mengedepankan sistem tes "cap, cip, cup" yang hanya melihat (lagi-lagi) dari sisi kognitif semata? Padahal, dari suatu motivation statement itulah kita dapat menggali sisi "rasa" —a state of being— karena "rasa" bukan cuma berhubungan dengan pancaindra, tetapi juga intelectual "rasa" dan social "rasa".
Maka, terjawab sudah alasan tingkat educated unemployment di negara kita, yang konon kabarnya mencapai tingkat 12 persen, dikarenakan adanya mismatch antara job market dengan output dari perguruan tinggi yang sistem pengajaran (lagi-lagi) masih berorientasi ke hal yang sekadar "ngerti" (kognitif), tetapi bukan ilmu yang dapat langsung diaplikasikan ("terlakoni").
Juga, terjawab sudah mengapa banyak pelajar Indonesia di luar negeri menemui kesulitan pada saat berhubungan dengan academic writing. Ya, karena pelajar kita terbiasa belajar tanpa diberikan ruang untuk berpikir kritis, belajar tetapi dengan hafalan dan materi yang bertumpuk. Anak-anak kita tidak dibiasakan berpikir analitis dengan metode assesment yang hanya menghendaki satu jawaban. Kita kemudian menjadi sangat gagap pada saat yang diuji, bukan cuma faktor kognitif.
Selain itu, juga sudah terjawab, mengapa belum ada satu universitas kita yang bisa masuk ke peringkat 100 atau 200 perguruan tinggi dunia, yakni karena kita banyak keteteran di bidang riset sebagai salah satu kriteria dan penilaian utama. Berdasarkan informasi dari para praktisi pendidikan tinggi dan hasil observasi secara umum, ternyata masih banyak riset perguruan tinggi kita berorientasi untuk sekadar mengejar kenaikan jabatan akademik ketimbang berorientasi pada kualitas riset yang bisa diaplikasikan ("nglakoni").
Jadi, memang bukan rahasia lagi bahwa banyak orang mengejar gelar doktor sekadar untuk kepentingan politis (nyaleg, nyapres, dan lain-lain) atau sebagai status sosial semata tanpa sadar bahwa tanggung jawab akademis dari gelar tersebut sangatlah besar.
Pun, terjawab sudah, mengapa banyak sekali orangtua terjebak dengan jargon internasional yang "dijual" oleh setiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Orangtua, jika ditanya mengapa memasukkan anaknya ke sekolah atau institusi pendidikan berlabel internasional, maka kebanyakan hanya menjawab karena bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris atau karena ada kerja sama dengan institusi pendidikan luar negeri.
Itulah yang terjadi. Orangtua tidak kritis bertanya nilai tambah dari adanya unsur institusi luar tersebut terhadap program dan output yang diharapkan. Padahal, internalisation dari sebuah institusi pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, punya banyak sekali elemen, bukan hanya hal-hal yang dapat dilihat kasatmata (kognitif) berupa bahasa pengantar, jumlah mahasiswa internasional, jumlah pengajar internasional, materi pendidikan, fasilitas untuk mahasiswa internasional, misalnya student housing, melainkan juga dinamika dan interaksi internasional yang terjadi dalam proses belajar mengajar. Internasionalization is a state of mind rasa!
Keunggulan kompetitif
Jadi, konsep yang dibawa oleh Bapak Pendidikan Nasional kita itu sebenarnya merupakan konsep pendidikan luar biasa, sangat mumpuni, dan komprehensif. Lalu, mengapa semua itu justru kita tinggalkan, dan malah sibuk mengembangkan konsep baru atau menggadang-gadang konsep-konsep dari luar yang seakan-akan lebih canggih, padahal mungkin justru berakar dari konsep Ki Hajar Dewantara ini?
Pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah semata, tapi juga orangtua, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan adalah tanggung jawab kita. Hanya dengan pendidikan, keunggulan kompetitif suatu bangsa dapat dicapai.
Maka, mari kita lebih peduli dan kritis terhadap pendidikan nasional (diknas) kita. Mari kita uji calon-calon pimpinan nasional kita dengan isu-isu seputar pendidikan nasional yang bukan cuma membahas dana "diknas", tapi juga konsep "diknas" yang komprehensif, yang sebetulnya sudah disemai sejak dahulu kala oleh Ki Hajar Dewantara. Marilah kita kembali ke konsep yang berakar dari budaya, nilai, dan keluhuran bangsa ini.
Selamat Hari Pendidikan Nasional! Mari menciptakan Indonesia yang lebih terdidik. Seperti kata Ki Hajar Dewantara, "Lawan Sastra Ngesti Mulya, dengan ilmu kita menuju kemuliaan!".
(Ditulis oleh Indi Hardono. penulis adalah praktisi dan pengamat pendidikan yang kini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa di Netherlands Education Support Office/NESO).
Dilansir dari edukasi.kompas.com (Adi. SL)
Kita "Melupakan" Ki Hajar Dewantara dalam Konsep Pendidikan Modern
Reviewed by Silo Langi
on
5/02/2017 05:20:00 PM
Rating:
No comments: