Sultan Hamid II (kanan) bersama Presiden Sukarno dalam sebuah acara menjelang Konferensi Meja Bundar 1949 |
SILOLANGI News, - Tidak banyak yang tahu perancang
lambang Garuda Pancasila. Namanya dilupakan karena dianggap terlibat upaya
kudeta Westerling 1950. Kini ada upaya untuk membersihkan namanya. Sejarah
seringkali milik para pemenang, dan di sisi lain pihak yang kalah acapkali
dilupakan. Dalam sejarah kontemporer Indonesia, sosok Sultan Hamid II -yang
pernah menjabat menteri negara dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS)
pertama- barangkali termasuk kategori yang kalah.
Jasanya dalam merancang lambang
negara Indonesia, burung Garuda Pancasila, seperti dilupakan begitu saja
setelah dia diadili dan dihukum 10 tahun penjara terkait rencana kudeta oleh
kelompok eks KNIL pimpinan Kapten Westerling pada 1950. "Dia dilupakan,
karena dituduh terlibat peristiwa Westerling, termasuk ingin membunuh Sultan
Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat itu)," kata sejarahwan Taufik
Abdullah kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Selasa (02/06).
Pada 22 Januari 1950, sekitar 800
orang pasukan KNIL pimpinan Westerling menduduki sejumlah tempat penting di
Bandung, setelah menghabisi 60 orang tentara RIS. Mereka kemudian berhasil
diusir dari Bandung.
Di Jakarta, empat hari kemudian,
pasukan Westerling hendak melanjutkan kudeta, tetapi berhasil digagalkan karena
lebih dulu bocor. Disebutkan, pasukannya berencana membunuh beberapa tokoh
Republik, termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Dalam buku Nationalism dan
Revolution in Indonesia (1952), George Mc Turnan Kahin, menulis setelah upaya
kudeta itu digagalkan, temuan pemerintah RIS menyimpulkan Sultan Hamid
"telah mendalangi seluruh kejadian tersebut, dengan Westerling bertindak
sebagai senjata militernya."
Walaupun membantah terlibat dalam
kasus itu, pengadilan menyatakan dirinya bersalah. Kemudian dia dihukum penjara
sepuluh tahun. Dia dilupakan, karena dituduh terlibat peristiwa Westerling,
termasuk ingin membunuh Sultan Hamengkubowo (Menteri Pertahanan saat
itu).Taufik Abdullah, sejarahwan. "Di situlah namanya habis. Dia dianggap
pengkhianat," kata Taufik Abdullah.
Perancang lambang negara
Sejarah resmi Indonesia kemudian
melupakannya. Ketika pria kelahiran 1913 ini meninggal dunia lebih dari 35
tahun silam, jasadnya bahkan tidak dikubur di makam pahlawan. Sosok penyokong
konsep negara Federal ini seperti dihilangkan, walaupun dia adalah perancang
lambang negara Indonesia, burung Garuda Pancasila. "Sultan Hamid sudah
resmi diakui dalam jasanya membuat lambang burung Garuda," kata peneliti
sejarah politik kontemporer Indonesia, Rusdi Hoesin kepada BBC Indonesia, Jumat
(05/06).
Sebagai Menteri negara, Syarif
Abdul Hamid Alkadrie ditugasi oleh Presiden Sukarno untuk merancang gambar
lambang negara. Ini ditindaklanjuti dengan pembentukan panitia yang
diketuainya. Belakangan, konsep rancangan Sultan Hamid yang terpilih,
menyisihkan rancangan Muhammad Yamin. "Meskipun (burung Garuda) itu belum
berjambul, masih botak. Dan cengkeraman (atas pita) masih terbalik," kata
Rusdi Hoesin. Namun fakta ini, menurutnya, tidak banyak diungkap setelah sang
pencipta lambang negara itu menjadi pesakitan.
Bukan 'dalang' kudeta Westerling
Setelah reformasi bergulir,
sejumlah intelektual muda Kota Pontianak, Kalimantan Barat -tempat kelahiran
Sultan Hamid II- menggugat yang mereka sebut sebagai kebohongan sejarah.
Anshari Dimyati, yang juga Ketua Yayasan Sultan Hamid II, melalui penelitian
tesis master di Universitas Indonesia, menyimpulkan Ketua Majelis
permusyawaratan negara-negara Federal (BFO) ini tidak bersalah dalam peristiwa
Westerling awal 1950. Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk melakukan
penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS itu, tapi tidak jadi dilakukan
dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan.Anshari Dimyati,
Ketua Yayasan Sultan Hamid II "Sultan Hamid II memang mempunyai niat untuk
melakukan penyerangan dan membunuh tiga dewan Menteri RIS, tapi tidak jadi
dilakukan dan penyerangan pun tidak terjadi. Itu yang harus diluruskan,"
kata Anshari Dimyati, Selasa (02/06).
Hasil temuan Anshari juga
menyimpulkan, bahwa perwira lulusan Akademi militer Belanda itu bukan
"dalang" peristiwa APRA di Bandung awal 1950. "Dia bukan orang
yang memotori atau bukan orang di belakang penyerangan Westerling atas Divisi
Siliwangi di Bandung," katanya. Menurutnya, peradilan tidak dapat
membuktikan dugaan keterlibatan Sultan Hamid dalam kasus itu. "Dia didakwa
telah bersalah oleh opini dan statement media massa yang memberitakan tentang
kasus ini... peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor
politik," jelas Anshari.
Menemukan sketsa asli
Alumni Universitas Indonesia
lainnya, Turiman Fachturrahman -juga melalui tesis masternya. menemukan
bukti-bukti otentik yang menguatkan peran penting Sultan Hamid II sebagai
perancang lambang negara, Garuda Pancasila. Selama empat tahun, Turiman mengaku
melakukan penelitian dengan menemui sejumlah pihak. "Dan saya menemukan
sketsa-sketsa dokumen (perancangan logo burung Garuda) yang diberikan Sultan
Hamid kepada Mas Agung," ungkap Turiman kepada BBC Indonesia, Selasa
(02/06).
Salah-satunya adalah sketsa
rancangan lambang negara karya Sultan Hamid dan Muhammad Yamin, katanya. Buku
ini salah-satu langkah awal publikasi sehingga nama Sultan hamid II tidak perlu
harus ditutup atau samar-samar dalam parade sejarah Indonesia.Anshari Dimyati
dan Turiman Fachturrahman
Berdasarkan hasil liputan aktivis
pers mahasiswa Nur Iskandar dalam tabloid Mimbar Untan, Universitas Tanjungpura
Pontianak, Turiman kemudian berhasil menemukan naskah asli rancangan lambang
negara karya Sultan Hamid. "Kami menelusuri lagi ke keluarga Kadriyah, dan
kebetulan didapatkan naskah aslinya," kata Turiman.
Korban 'kampanye hitam'
Hasil penelitian Anshari dan
Turiman ini kemudian diterbitkan dalam buku 'Sultan Hamid II, sang perancang
lambang negara' pada pertengahan 2013 lalu. "Buku ini salah-satu langkah
awal publikasi sehingga nama Sultan hamid II tidak perlu harus ditutup atau
samar-samar dalam parade sejarah Indonesia," demikian prolog buku
tersebut. "Dia bukanlah
pengkhianat negara seperti black campaign pada masa kehidupannya, namun
pahlawan negara yang karya ciptanya menduduki peringkat tertinggi di dalam
struktur negara, yaitu lambang negara Elang Rajawali Garuda Pancasila,"
tulis mereka.
"Di sinilah ada diskriminasi
hukum. Tidak satu pun pasal yang menyatakan bahwa lambang negara adalah
rancangan Sultan Hamid II.Turiman Fachturrahman, staf pengajar FH
UniversitasTanjungpura, Pontianak, Kalbar. Kampanye terbuka, melalui pameran
dan diskusi di berbagai forum, pun digelar oleh masyarakat Kalimantan Barat
untuk apa yang mereka sebut sebagai pelurusan sejarah. Lebih lanjut Turiman
mengharap agar negara mengakui jasa pria yang bernama asli Syarif Hamid
Alqadrie ini sebagai perancang lambang negara, Garuda Pancasila.
Diskriminasi hukum
"Karena di dalam UU hak
cipta, nama perancang harus disebutkan namanya, sama seperti perancang lagu
kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman," kata Turiman. Dalam UU nomor 24
tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,
nama WR Supratman disebut dengan jelas, tetapi tidak ada nama Sultan Hamid II,
katanya.
"Di sinilah ada diskriminasi
hukum. Tidak satu pun pasal yang menyatakan bahwa lambang negara adalah
rancangan Sultan Hamid II," ujar Turiman. Bagaimanapun, Sultan Hamid II
hidup dalam masa-masa gelap revolusi Indonesia, ketika banyak kelompok yang
masih bersemangat membawa Indonesia ke arah yang sesuai persepsinya
masing-masing. Sejarah memang bukan matematika yang terukur jelas dan acapkali
hanya dimiliki para pemenang. Namun tak semestinya sejarah meniadakan jasa para
pesakitan. Dilansir dari website News
Indonesia
(SL.R)
Sultan Hamid II, perancang lambang Garuda Pancasila
Reviewed by Silo Langi
on
12/12/2018 10:12:00 AM
Rating:
No comments: